Friday, June 19, 2015

Quo Vadis Hasil Audit BPK terhadap KPU

Oleh: Ahsanul Minan

Barawal dari kekecewaan beberapa partai politik yang tidak berhasil mengegolkan niat untuk merevisi UU Pemilu nomor 8 Tahun 2015, muncul permintaan dari Komisi II DPR RI kepada BPK untuk melakukan audit terhadap keuangan KPU. Meskipun dibantah oleh Ketua Komisi II, tidak dapat ditutupi bahwa niat partai politik ini lebih kental diwarnai oleh kegelisahan mereka terhadap konflik internal berlarut yang dapat berdampak pada eligibilitas mereka dalam mengikuti kontestasi dalam pemilukada tahun 2015 mendatang. Tak heran jika munculnya keputusan ini di DPR tidaklah mulus, fraksi PKB menganggap ini sebagai pemaksaan. Pemerintah dan KPU segendang seirama menolak usulan revisi UU Pemilu ini dengan kekhawatiran akan mengganggu jadwal penyelenggaraan pemilukada serentak tahun 2015.
Ketua BPK, Harry Azhar Aziz yang sebelumnya merupakan politisi dan anggota DPR dari Golkar pun bergerak cepat merespon permintaan koleganya di DPR, meskipun sempat menjadi perdebatan mengenai apa obyek audit yang harus diteliti oleh BPK. Sejak tidak terdapat kejelasan apa yang hendak diaudit, apakah rencana anggaran pilkada tahun 2015, ataukah realisasi anggaran tahun-tahun sebelumnya, ataukah kesiapan KPU dalam menyelenggarakan Pilkada di luar persoalan anggaran seperti peraturan teknis, dan lain-lain, ataukah audit menyeluruh? Hal ini menunjukkan anomali, bagaimana mungkin BPK akan mengaudit peraturan KPU ? Apakah BPK memiliki kompetensi keilmuan tentang Pemilu sehingga dapat mengaudit Peraturan KPU? Atau jika audit dimaksudkan untuk menginvestigasi laporan keuangan KPU tahun-tahun sebelumnya, apakah hal itu bukan merupakan pengulangan atas audit sebelumnya karena BPK melakukan audit secara rutin kepada KPU. Bahkan jika anggara Pilkada tahun 2015 dianggap membengkak, bukankan itu karena adanya perubahan peraturan tentang 4 jenis kampanye yang dibiayai negara melalui KPU? Hal inilah yang rupanya membuat KPU tak habis pikir dengan rencana untuk mengaudit KPU.
Namun pada tanggal 18 Juni 2015 BPK menyatakan telah merampungkan auditnya dan melaporkannya ke DPR. Tak seperti perdebatan sebelumnya, hasil audit BPK menunjukkan bahwa audit hanya dilakukan terhadap laporan keuangan KPU sejak tahun 2012 hingga 2014, dan tidak menyentuh pada audit kesiapan penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2015. 
Secara umum, BPK mengindikasikan penyimpangan uang negara tersebut dibagi dalam tujuh kategori;
  1. Indikasi kerugian negara Rp 34.349.212.517,69
  2. Potensi kerugian negara Rp 2.251.876.257.00
  3. Kekurangan penerimaan Rp 7.354.932.367.89
  4. Pemborosan Rp 9.772.195.440.11
  5. Yang tidak diyakini kewajarannya Rp 93.058.747.083.40
  6. Lebih pungut pajak Rp 1.356.334.734
  7. Temuan administrasi Rp 185.984.604.211.62
Temuan BPK ini langsung dimanfaatkan untuk menebar ancaman, Komisioner KPU diganti, atau Pilkada serentak tahun 2015 ditunda. Ancaman ini tentunya tidak masuk akal, karena hasil audit sama sekali tidak memiliki relevansi dengan persiapan dan kesiapan penyelenggaraan pilkada. Hasil audit ini sama sekali tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai kesiapan KPU dalam menyelenggaraan Pilkada serentak 9 Desember 2015. Akan sangat berbeda jika hasil audit menunjukkan bahwa peraturan teknis penyelenggaraan pilkada belum terbentuk, atau belum lengkap, sehingga wajar jika Pilkada diminta untuk diundur. Menanggapi hasil audit ini, KPU menyampaikan sikap yang cukup bijak dengan menegaskan komitmen untuk menindaklanjutinya.  
Meskipun hasil audit tidak memiliki korelasi dengan penyelenggaraan pilkada, namun tentunya ancaman Senayan tersebut tetap perlu diwaspadai oleh KPU dan masyarakat sipil, di tengah demam kriminalisasi di negeri ini.

No comments:

Post a Comment