Monday, January 29, 2018
Politik NU : Politik Nilai
Jakarta, Jagatngopi.com – Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta (IKA PMII Jakarta) menggelar diskusi dengan tema “Politik Indonesia dan Perubahan Geokultural Nahdlatul Ulama,” yang meneroboskan terkait politik NU adalah politik nilai, Jumat (12/01), Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Lt. 5 Jalan Kramat Raya No. 164. Jakarta Pusat.
Intelektual NU Ulil Abshar Abdalla yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi itu mengatakan bahwa Identitas ke-NUan harus dibicarakan secara terus-menerus, tidak bisa dianggap telah selesai, sebab secara demokrasi menjadi relevan ketika kita berbicara hal yang demikian.
“Siapakah yang disebut sebagai orang NU? Diakah yang NU secara amaliah? Diakah yang kultural? Diakah yang masuk dalam struktural? Atau dia yang masuk dalam kumpulan semuanya?,” ungkap Ulil Abshar Abdalla diawal diskusi.
Lanjutnya, masalah keagamaan menjadi sesuatu yang sangat ekstrim, karena pendapat keagamaan masih berlaku dijadikan sebagai bahan perhitungan perpolitikan.
Masih dalam forum yang sama, ia menjelaskan “NU kedepan harus mampu meredifinisi orang NU, juga meredifinisi NU terhadap arus politik. NU harus dapat menarik lebih tinggi dengan berpolitik secara nilai. Sehingga orang NU yang berorientasi dalam politik merasa terpayungi,” tegasnya.
Selain Ulil Abshar Abdalla, Juri Ardiantoro Ketua IKA UNJ, Ahsanul Minan Dosen Hukum UNU Indonesia, Khairul Anam NU Online, juga yang menjadi narasumber dalam kegiatan itu.
Sumber: http://www.jagatngopi.com/politik-nu-politik-nilai/
Ahsanul Minan: Bawaslu Mesti Hati-Hati Definisikan ASN di Perbawaslu
Posted on December 20, 2017
Pegiat pemilu, Ahsanul Minan, menyarankan agar Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) berhati-hati mendefinisikan aparatur sipil negara (ASN) di
dalam Peraturan Bawaslu (Perbawaslu). Pasalnya, terdapat perubahan
definisi ASN di Undang-Undang (UU) Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan UU
ASN.
Di UU PNS, ASN adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat yang sudah ditentukan, diangkat oleh pejabat yang memiliki
wewenang dan diberikan tugas negara lainnya, dan diupah berdasarkan
aturan perundang–undangan yang ada. Dengan kata lain, ASN hanya merujuk
pada PNS. Sementara itu, ASN di UU ASN adalah profesi bagi PNS dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
pemerintah.
“Dampaknya, jajaran pegawai pemerintah, meskipun honorer, masuk ke
dalam definisi ASN. Padahal, justru jumlah pegawai pemerintah non PNS
jauh lebih besar. Jumlah PNS hanya 4 juta, tapi kalau pegawai non PNS
dimasukkan (dalam kategori ASN), jadi puluhan juta,” tandas Minan pada focus group discussion
(FGD) Rancangan Perbawaslu Netralitas Anggota Tentara Nasional
Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian RI (Polri) di Hotel Grand Zuri,
BSD, Kota Tangerang Selatan (19/12).
Menurut Manan, mobilisasi ASN di Pemilu 2019 akan lebih besar.
Pasalnya, semua momen pemilu nasional menjadi satu. Semua kandidat,
terutama petahana dan calon yang memiliki jaringan eksekutif akan
berlomba memperebutkan ASN.
“Kalau dulu pileg (pemilihan legislatif) pilpres (pemilihan presiden)
dipisah, keterlibatan ASN itu jauh lebih kecil untuk pileg. Tapi
sekarang, semua momen berkumpul di situ. Makanya pembentuk UU memberikan
perhatian pada netralitas ASN di UU No.7.2017,” tukas Manan.
Manan menjelaskan bahwa yang berbahaya dari ketidaknetralan ASN yakni
penggunaan uang dan fasilitas negara untuk memenangkan salah satu
calon. Oleh karena itu, Bawaslu mesti menyusun Perbawaslu yang dapat
mencegah dan menindak ASN yang melanggar netralitas, beserta calon yang
memanfaatkan politisasi birokrasi.
Sumber: http://rumahpemilu.org/ahsanul-minan-bawaslu-mesti-hati-hati-definisikan-asn-di-perbawaslu/
Subscribe to:
Posts (Atom)