Tuesday, July 14, 2015

10 Catatan BPK Terkait Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015

Oleh: Ahsanul Minan

BPK telah merampungkan audit yang diminta oleh DPR untuk KPU terkait dengan rencana penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2015. Audit yang dilakukan dalam bentuk Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) ini dimaksudkan untuk memeriksa sejauhmana kesiapan KPU dalam menyelenggarakan Pilkada serentak.
Berbeda dengan temuan yang sebelumnya telah disampaikan BPK terhadap laporan keuangan KPU tahun 2013-2014 yang mengindikasikan beberapa penyimpangan keuangan, dalam laporan PDTT yang disampaikan oleh BPK kepada DPR pada tanggal 13 Juli 2015 ini lebih memfokuskan kepada audit kinerja dengan melihat kesiapan berbagai perangkat utama maupun pendukung yang diperlukan untuk menyelenggarakan Pilkada serentak. 
10 temuan BPK tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penyediaan anggaran pilkada belum sesuai ketentuan;
Kegiatan pilkada serentak belum sepenuhnya dianggarkan pada APBD 2015. Setidaknya ada 25 pemda yang belum menganggarkan biaya pengawasan dan biaya pengamanan. Sebanyak 11 pemda belum menyediakan anggaran penyelenggaraan pilkada melalui APBD. Selain itu, ada pula anggaran yang ditetapkan di dalam naskah perjanjian hibah faerah (NPHD) yang lebih besar dari nilai yang dianggarkan dalam APBD 2015.
"Anggaran itu meliputi delapan KPU kabupaten, satu KPU kota, sepuluh panwaslu kabupaten, dan dua panwaslu kota," ujar Agung.
Dari sembilan provinsi yang akan mengikuti pilkada, delapan di antaranya belum menyusun surat keputusan gubernur secara proporsional sesuai kebutuhan dana pilkada di dalam APBD. Tak hanya itu, pemda juga belum melakukan antisipasi anggaran untuk penghitungan dan pemungutan suara ulang, pemilihan lanjutan, dan pemilihan susulan di 218 KPU provinsi, kabupaten/kota, dan 239 panwaslu kabupaten/kota.
"Penganggaran belanja hibah belum sesuai dengan jadwal tahapan pemilihan sesuai PKPU Nomor 2/2015 pada 131 KPU provinsi dan kabupaten/kota dan 215 panwaslu kabupaten/kota," ujar Agung.

2. NPHD pilkada di beberapa daerah belum ditetapkan dan belum sepenuhnya sesuai ketentuan;
Ada tiga poin terkait NPHD yang masih menjadi catatan. Pertama, pelaksanaan hibah pada pemda belum ditetapkan dalam NPHD antara pihak pemberi dan penerima hibah. Kedua, NPHD belum dilampiri pakta integritas dan belum memuat isi sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Untuk poin kedua, ada 17 KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota, 26 bawaslu provinsi dan kabupaten/kota, serta masing-masing satu kepolisian daerah dan komando distrik militer yang belum melampirkan pakta integritas dalam NPHD. Selanjutnya, 15 KPU tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, 14 Bawaslu provinsi, dan kabupaten/kota, serta masing satu kepolisian daerah belum melampirkan rincian penggunaan hibah dalam NPHD. Dua KPU tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, tiga bawaslu provinsi, dan kabupaten/kota, dan satu kepolisian daerah belum melampirkan pakta integritas dan rincian penggunaan hibah dalam NPHD.
"Ketiga, ada NPHD yang tidak ditandatangani oleh kepala daerah, seperti yang terdapat pada KPU dan Panwaslu Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Pohuwato, dan Kabupaten Poso," ujarnya.
3. Rencana penggunaan anggaran hibah pilkada belum sesuai ketentuan;
Dari 269 KPU daerah, 100 di antaranya telah menganggarkan semua jenis biaya dan 164 lain baru menganggarkan sebagian jenis biaya. Lima KPU sisanya belum menyerahkan data anggaran yang telah dirancang.
Setidaknya, ada 15 jenis biaya yang wajib terdapat di KPU, yaitu honorarium dan uang lembur, barang cetak dan penggandaan, perlengkapan KPPS/TPS, pengangkutan, pelayanan administrasi, dan pembentukan PPK, PPS dan KPPS. "Kemudian, pengamanan percetakan, penyimpanan dan pendistribusian, persiapan pemungutan suara, sosialisasi, advokasi hukum, rapat kerja, pencalonan, verifikasi dan rekapitulasi calon perseorangan, serta proses penghitungan suara," kata Agung.
Sementara itu, dari 269 bawaslu dan panwaslu, 146 di antaranya telah menganggarkan semua jenis biaya, dan 92 lain baru menganggarkan sebagian jenis biaya. Adapun 31 Bawaslu dan Panwaslu sisanya belum menyerahkan data anggaran yang telah dirancang.
"Ada tujuh jenis biaya yang wajib ada di bawaslu, yaitu honorarium dan uang lembur, pengadaan barang dan jasa, pelayanan administrasi perkantoran, raker/pelatihan, penyelesaian kasus, sewa gedung dan perjalanan dinas," ujarnya.

4. Rekening hibah pilkada serentak 2015 pada KPU provinsi/kabupaten/kota dan bawaslu provinsi/panwaslu kabupaten/kota belum sesuai ketentuan;
Setidaknya ada 237 KPU yang sudah memiliki rekening dan sudah ada izin Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Hanya 25 KPU sudah memiliki rekening tapi belum ada izin KPPN.
"Tujuh sisanya tidak menyampaikan dokumen terkait pembukaan rekening penampung," papar Agung.
Sementara itu, baru 80 bawaslu/panwaslu yang sudah memiliki rekening dan sudah ada izin KPPN. Sebanyak 124 bawaslu/panwaslu telah memiliki rekening, tetapi belum ada izin dari KPPN. Adapun 50 bawaslu/panwaslu belum memiliki rekening penampung, enam tidak menyampaikan dokumen terkait pwmbukaan rekening karena sekretariat belum terbentuk, sembilan lainnya tidak menyampaikan dokumen terkait pembukaan rekening penampung.
5. Perhitungan biaya pengamanan pilkada serentak belum dapat diyakini kebenarannya;
Anggaran pengamanan yang diajukan untuk penyelenggaraan 269 pilkada mencapai Rp 1,146 triliun. Dari jumlah tersebut, baru 52 persen atau sekitar Rp 594 miliar yang telah disetujui.
Selain itu, masih ada dua kepolisian daerah yang belum mengantongi persetujuan anggaran, yaitu Polda Banten dan Polda Sulawesi Tengah. Ada pula usulan anggaran pengamanan yang nilai persetujuannya dalam NPHD di bawah 25 persen, seperti Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT dan Papua.
"Terakhir, ada perbedaan data yang diperoleh dari pihak Polri atas nilai anggaran yang telah disetujui dengan data NPHD, seperti di Kota Medan dan Kabupaten Pelalawan," papar Agung.
6. Sebagian besar bendahara panitia pemilihan kecamatan (PPK), pejabat pengadaan/kelompok kerja unit layanan pengadaan (ULP), dan panitia pemeriksa hasil pekerjaan (PPHP) pada sekretariat KPU provinsi/kabupaten/kota, bawaslu provinsi dan panwaslu kabupaten/kota untuk penyelenggaraan pilkada serentak belum bersertifikat dan belum ditetapkan dengan surat keputusan;
Dari sisi kualifikasi bendahara, hanya 55 KPU dan 34 bawaslu/panwaslu yang telah memiliki bendahara sesuai kualifikasi yang ditentukan. Sisanya, 211 KPU dan 195 bawaslu/panwaslu belum memiliki sertifikat dan tidak sesuai ketentuan. Ada 1 KPU dan 37 bawaslu/panwaslu belum ditunjuk melalui SK.
Dari sisi kualifikasi pejabat pembuat komitmen (PPK), ia menjelaskan, hanya 71 KPU dan 7 bawaslu/panwaslu yang sudah sesuai ketentuan. Mayoritas KPU, bawaslu dan panwaslu memiliki PPK yang tidak sesuai ketentuan.
"Ada 178 KPU dan 156 bawaslu/panwaslu tidak sesuai ketentuan. Kemudian, 16 KPU dan 90 bawaslu/panwaslu, PPK-nya belum ditunjuk melalui SK," ujarnya.
Untuk kualifikasi pejabat pengadaan atau pokja ULP, baru 162 KPU dan 29 bawaslu/panwaslu yang sudah seuai ketentuan, 82 KPU dan 57 bawaslu/panwaslu tidak sesuai ketentuan, serta 21 KPU dan 166 bawaslu/panwaslu yang belum ditunjuk melalui SK.

7. Kesiapan pedoman pertanggungjawaban dan pelaporan penggunaan dana hibah belum memadai;
Dari 269 KPU daerah, 203 di antaranya belum memiliki pedoman pertanggungjawaban, sementara 58 di antaranya sudah memiliki dan sisanya BPK belum mengantongi data. Sebanyak 243 KPU daerah belum memiliki pedoman pertanggungjawaban, 18 sudah memiliki, dan delapan tidak ada datanya.
8. Mahkamah Konstitusi belum menetapkan prosedur operasional standar sebagai acuan dalam penyelesaian perselisihan hasil pilkada serentak 2015;
Hingga kini Mahkamah Konstitusi (MK) belum memiliki prosedur operasional standar untuk menyelesaikan sengketa pilkada. Jika dari 269 pilkada serentak terdapat sengketa yang diajukan, misalnya, maka MK hanya memiliki waktu 1 jam 50 menit untuk setiap perkara yang diajukan.
"Itu dengan perhitungan MK kerja 11 jam per hari. Artinya, mereka memiliki waktu 495 jam untuk 45 hari kalender batas waktu penyelesaian sengketa," ujarnya.
BPK telah meminta kepada MK untuk membuat prosedur operasional standar untuk menghadapi sengketa pilkada serentak ini. Terutama, terkait persoalan waktu penyelesaian.
"Mereka kemarin telah mengajukan dana untuk 269 pilkada dan MK sudah menyatakan jika mereka butuh waktu yang lebih banyak," ujarnya.
9. Tahapan persiapan pilkada serentak belum sesuai dengan jadwal dalam Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015;
Dalam hal perencanaan program dan anggaran, 148 daerah sudah sesuai jadwal, 121 daerah terlambat. Dalam hal penyusunan peraturan, 169 daerah sudah sesuai jadwal, 17 daerah terlambat, 51 daerah belum terealisasi, dan 32 daerah tidak ada data.
Dalam hal sosialisasi dan penyuluhan, 158 daerah sudah sesuai jadwal, 70 daerah belum terealisasi, dan 41 daerah tidak ada data. Terkait pembentukan PPK, 205 daerah sesuai jadwal, 39 daerah terlambat, 11 daerah belum terealisasi dan 14 daerah tidak ada data.
"Sedangkan untuk pembentukan PPS, 190 daerah sesuai jadwal, 50 daerah terlambat, 15 daerah belum terealisasi dan 14 daerah tidak ada data," kata Agung.
10. Pembentukan panitia ad hoc tidak sesuai ketentuan;
Dari 269 PPK, panitia pemungutan suara (PPS), panwaslu kabupaten/kota, dan panwaslu kecamatan, baru 205 PPK dan 190 PPS yang proses pembentukannya sesuai jadwal. Adapun 39 PPK, 50 PPS, 258 panwaslu kabupaten/kota dan 187 panwaslu kecamatan terlambat. Sebanyak 11 PPK, 15 PPS, 11 panwaslu kabupaten/kota dan 79 panwaslu kecamatan belum terealisasi. Sisanya, untuk keempat sektor itu BPK belum memperoleh datanya.

Mencermati 10 temuan tersebut di atas, terlihat bahwa persoalan yang muncul tidak hanya dipicu oleh inkomptensi KPU dan Bawaslu saja. Secara umum dapat dibaca bahwa 10 masalah tersebut disebabkan oleh kontribusi 6 pihak yakni KPU, Bawaslu, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kepolisian, MK. Ke enam pihak tersebut sama-sama dan saling memiliki peran dan kontribusi yang menyebabkan munculnya persoalan/kendala yang ditemukan BPK. Sebagai contoh adalah temuan terkait dengan belum adanya pedoman pertanggungjawaban dana hibah, dimana dalam hal ini stakeholder utama yang bertanggungjawab untuk menyediakannya adalah Pemerintah, sehingga posisi KPU dalam hal ini adalah pengguna dan pelaksana pedoman tersebut.
Ketidaksiapan anggaran pengamanan Pilkada serentak juga memperlihatkan bahwa akar persoalannya tidak hanya pada belum tersedianya anggaran di Pemerintah atau Pemerintah Daerah, tetapi juga permasalahan ada di institusi kepolisian yang dinilai perhitungan anggarannya belum dapat diyakini kebenaranya.
Namun demikian, KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu tentunya harus memperhatikan secara cermat temuan BPK ini, karena terdapat beberapa masalah krusial yang harus segera ditangani  secara internal. Di samping upaya untuk mengejar pemenuhan ketersediaan anggaran Pilkada, KPU dan Bawaslu harus memperhatikan persoalan kelembagaan internal seperti belum bersertifikatnya bendahara panitia pemilihan kecamatan (PPK), pejabat pengadaan/kelompok kerja unit layanan pengadaan (ULP), dan panitia pemeriksa hasil pekerjaan (PPHP).
Bagaimanapun juga, temuan di atas tidak perlu menjadi penghambat pelaksanaan Pilkada serentak tahun ini, yang diperlukan adalah kerja sama setidaknya ke 6 stakeholder tersebut untuk segera menemukan sinergi dan penyelesaian masalah.

Monday, July 13, 2015

PDI-P Beri Sanksi Keras bagi Calon Kepala Daerah yang Mundur karena Putusan MK

JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan akan memberikan sanksi keras kepada sejumlah bakal calon kepala daerah yang mengundurkan diri. Sanksi itu diberikan bagi mereka yang mengundurkan diri setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan anggota DPR, DPD, dan DPRD mundur jika ingin maju sebagai calon kepala daerah.

"Kami beri sanksi keras, teguran keras, dan terakhir," kata Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto saat dijumpai di sela-sela Rapimnas II PPP di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (13/7/2015).

Hasto menjelaskan, para bakal calon kepala daerah itu mengundurkan diri karena tidak bersedia mundur sebagai anggota DPRD atau DPR untuk memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah. Padahal, Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri telah memberikan rekomendasi kepada bakal calon tersebut.

"Memang ada beberapa yang mengundurkan diri, sekitar delapan orang. Kami beri sanksi keras karena jabatan publik tidak bisa buat spekulasi. Menjadi anggota DPR bukan untuk batu loncatan," kata Hasto.

Hingga saat ini, kata Hasto, PDI-P telah melakukan proses penjaringan dan memberikan rekomendasi kepada 229 orang untuk menjadi bakal calon kepala daerah. Beberapa daerah yang belum selesai proses penjaringannya rata-rata berada di wilayah Pulau Jawa.

"Kami targetkan Rabu ini telah selesai semua proses. Setelah itu, kita konsolidasi dan pada 21 Juli akan kita lakukan sekolah politik kedua," ujar Hasto.

Wednesday, July 8, 2015

Tindak Lanjuti Putusan MK, KPU Akan Ubah Peraturan Terkait Pengertian Petahana

JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengubah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015 yang memuat pengertian petahana. Revisi PKPU ini dilakukan menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

MK menilai syarat kepala daerah yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 tersebut melanggar konstitusi.

"KPU akan mengubah peraturan KPU yang belum sesuai dengan putusan MK. Jadi, putusan MK merupakan pedoman bagi KPU yang putusannya beda dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015," kata Ketua KPU Husni Kamil Manik di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (8/7/2015).

Mengenai kapan revisi akan dilakukan, Husni mengatakan, KPU menunggu semua putusan MK atas uji materi undang-undang terkait pilkada dibacakan.

"Sepertinya banyak menyangkut PKPU Nomor 9, kalau mau ubah ya sekalian saja. Direncanakan hari ini sampai besok kan pembacaannya," kata Husni.

Selebihnya, Husni enggan mengomentari kemungkinan implikasi putusan MK itu terhadap pencegahan berkembangnya politik dinasti. Ia menegaskan bahwa KPU hanya menjalankan pedoman perundang-undangan.

Dalam PKPU No 9/2015 disebutkan, petahana adalah gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang menjabat. Pengertian tersebut mendorong sejumlah petahana mundur dari posisi kepala/wakil kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir agar keluarganya bisa maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Desember mendatang.

Setidaknya sudah tiga kepala/wakil kepala daerah yang siap mundur dari posisinya agar keluarganya bisa maju di pilkada. Mereka adalah Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad, Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya, dan Wakil Wali Kota Sibolga Marudut Situmorang (Kompas, 18/6/2015).

Langkah mundur ini diambil karena Pasal 1 Angka 6 UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota melarang calon memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Konflik kepentingan berarti memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Pengamat hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, sebelumnya menilai, tafsiran Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap petahana di Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak cukup mencegah politik dinasti. Padahal, tujuan munculnya pasal itu untuk mencegah politik dinasti. Menurut dia, KPU harus memperluas tafsirnya atas petahana supaya tujuan undang-undang mencegah politik dinasti tetap bisa dicapai.

Menkumham: Jika Tak Mau Islah, Partai Akan "Gone With The Wind"

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menegaskan partai politik yang menolak islah terbatas yang ditawarkan pemerintah tak akan bisa mengikuti pelaksanaan pemilihan kepala daerah tahun ini. Maka dari itu, dia berharap ada itikad baik di antara partai politik untuk berislah.
"Gone with the wind. He-he-he," jawab Yasonna saat ditanya soal nasib partai yang tidak mau islah.
Menurut dia, hanya ada dua opsi yang bisa dilakukan partai politik yang berkonflik yakni menunggu hingga keputusan berkekuatan hukum tetap atau islah. Dia menjelaskan, menunggu keputusan hukum berkekuatan tetap memakan waktu sangat lama. Sehingga, yang paling memungkinkan adalah dengan islah. Namun, jika islah juga tidak tercapat, maka Yasonna menyatakan partai tidak bisa mengajukan calonnya.
"Jadi itikad baik pemerintah saya harap direspon secara positif oleh masing-masing kelompok. Kenapa parpol lain kita undang? Supaya ada kesepakatan bersama jangan ada protes dari partai lain," ucap dia.
Saat ini dua partai politik masih terkendala dualisme kepengurusan yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Kedua partai itu terancam tidak bisa mengajukan calon kepala daerah apabila tidak melakukan islah. Lantaran belum adanya titik temu di antara dua partai itu, pemerintah memutuskan mengambil jalan diskresi.
Pemerintah akan melakukam komunikasi tripartit dengan kedua kubu di partai-partai yang berkonflik. Pemerintah menawarkan islah terbatas yang hanya diperuntukkan untuk pengajuan pasangan calon kepala daerah dan tidak terkait dengan kepengurusan.