Oleh: Anita Yossihara dan A Ponco Anggoro
JAKARTA, KOMPAS - Beberapa anggota Komisi II DPR
langsung menginterupsi begitu Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil
Manik menunjukkan surat undangan yang diterima dari Sekretariat Jenderal
DPR dalam rapat dengar pendapat Komisi II dengan KPU dan Badan Pengawas
Pemilu, Senin (22/6/2015) pagi. Menurut Husni, undangan itu membahas
agenda tunggal, yakni evaluasi pelaksanaan Peraturan KPU atau PKPU.
Pernyataan Husni memang mengejutkan, termasuk tamu dan wartawan yang
hadir memenuhi ruang balkon Komisi II. Sebab, sejak akhir pekan lalu
tersebar informasi bahwa pada Senin Komisi II akan menggelar rapat
meminta penjelasan KPU mengenai laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pelaksanaan anggaran pemilu tahun
2013-2014.
Pada awal rapat, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman sudah
mengungkapkan agenda rapat adalah meminta penjelasan KPU terkait LHP BPK
atas anggaran pemilu tahun 2013- 2014. Dalam LHP BPK itu diketahui,
terdapat indikasi ketidakpatuhan terhadap UU dalam pengelolaan anggaran
sebesar Rp 334 miliar. Dari total temuan itu, didapat indikasi kerugian
negara Rp 13,7 miliar.
Politikus Partai Golkar itu pun menegaskan, tidak ada motif apa pun
di balik permintaan penjelasan. "Tidak ada unsur dendam, tidak ada unsur
apa- apa. Kami juga bukan ingin melemahkan KPU," katanya.
Pernyataan Husni soal undangan formal yang diterima menimbulkan
perdebatan di antara anggota Komisi II. Anggota Komisi II dari Fraksi
Partai Nasdem, Lutfi A Mutty, mengatakan, dirinya juga menerima undangan
dari Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR bahwa agenda rapat dengan KPU
dan Bawaslu adalah membahas pelaksanaan PKPU dan Peraturan Bawaslu.
Setelah lebih dari setengah jam berdebat, Komisi II dan KPU akhirnya
bersepakat, rapat digelar untuk mendengarkan penjelasan KPU soal tindak
lanjut temuan BPK.
Menekan KPU
Meski akhirnya KPU menjelaskan tindak lanjut LHP BPK, pembahasan LHP
BPK di Komisi II tetap menimbulkan pertanyaan. Salinan LHP BPK atas
pelaksanaan anggaran Pemilu 2013-2014 sudah beredar di kalangan wartawan
pada 11 Juni lalu. Pemberitaan tentang hasil audit anggaran pemilu
mulai ramai dibahas di berbagai media massa sejak pertengahan pekan
lalu. Berita di sejumlah media disebut-sebut oleh Rambe sebagai
pertimbangan Komisi II menggelar rapat membahas temuan BPK.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, Rufinus Hutauruk, menyatakan kecurigaannya ada agenda tersembunyi dari partai-partai tertentu untuk mengaitkan hasil audit BPK dengan penyelenggaraan pilkada. "Saya khawatir ada partai yang tidak siap (mengikuti pilkada), tetapi dibuat-buat seakan-akan KPU yang tak siap," katanya.
Arif Wibowo dari F-PDIP bahkan sejak awal curiga ada unsur politis dari pengungkapan hasil LHP BPK. Buktinya pimpinan DPR sempat menyatakan, pilkada bisa saja ditunda jika KPU tak bisa mempertanggungjawabkan hasil audit BPK.
Kalangan aktivis pemilu juga mempunyai kecurigaan yang sama. Mereka curiga DPR berupaya meyakinkan publik bahwa KPU tidak kredibel menyelenggarakan pilkada. Pilihannya hanya dua, anggota KPU diganti atau pilkada ditunda.
"Hasil pemeriksaan BPK coba ditarik ke ranah politik, dipoliti- sasi sehingga sasarannya pilkada ditunda. Selain itu, merupakan upaya menjatuhkan kredibilitas KPU sehingga publik tidak percaya kinerja dan integritas KPU," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Selain Titi, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman pun ikut angkat bicara atas permasalahan itu. Dia bahkan menyebut ada upaya melemahkan KPU dengan mengait-kaitkan hasil pemeriksaan BPK dan pilkada (Kompas, 22/6).
Pandangan itu muncul karena hasil pemeriksaan BPK memiliki mekanisme tindak lanjutnya sendiri. Mekanisme itu sama sekali tidak terkait pilkada.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK disebutkan, instansi diberi kesempatan untuk memperbaiki temuan BPK.
Sementara dalam undang-undang pilkada, penundaan pilkada hanya bisa dilakukan jika terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian tahapan pemilihan tidak bisa dilaksanakan. Ini artinya tidak ada kaitannya penundaan dengan temuan BPK.
"Kami sepakat rekomendasi BPK ditindaklanjuti. Namun, harus sesuai prosedurnya, tidak ditarik-tarik ke ranah politik, terlebih sampai ada tuntutan menunda pilkada atau mengganti anggota KPU," ujar Titi.
Kecurigaan ada agenda tersembunyi di balik pembahasan temuan BPK itu semakin kuat karena ternyata temuan yang diungkap bukan hanya temuan pengelolaan anggaran di KPU pusat, melainkan juga KPU daerah. Bahkan, mayoritas di antara temuan terjadi di KPU daerah. Selain itu, tak semua temuan di KPU daerah tersebut merupakan KPU yang akan menyelenggarakan pilkada tahun ini.
DPR yang hanya mengutak- atik hasil pemeriksaan BPK atas KPU juga janggal. Pasalnya, tidak sedikit instansi pemerintah yang nilai temuannya melebihi nilai temuan BPK atas KPU. Tidak sedikit pula instansi pemerintah yang mendapat opini tak menyatakan pendapat dari BPK atau lebih buruk daripada opini BPK atas KPU, yaitu wajar dengan pengecualian.
Kecurigaan sejumlah kalangan tentang adanya kepentingan tersembunyi itu pun akhirnya terjawab. Menjelang rapat berakhir, John Kennedy Aziz dari F-PG mengusulkan penundaan pilkada karena khawatir KPU tak bisa menyelenggarakan pilkada yang jujur, adil, transparan, dan akuntabel.
"Kalau melihat hasil audit BPK ini, saya terus terang khawatir KPU bisa menjalankan pilkada yang luber, jurdil, transparan, dan akuntabel. Untuk itu secara pribadi, saya mohon pimpinan agar pilkada yang sedia- nya dilaksanakan Desember dikaji ulang," tuturnya.
John Kennedy sebenarnya terdaftar sebagai anggota Komisi III dan baru diperbantukan ke Komisi II saat rapat membahas LHP BPK dengan KPU. Selain John dan Misbakhun, F-PG juga memperbantukan anggota Komisi X Kahar Muzakir ke Komisi II, khusus untuk mengikuti rapat soal audit BPK. Seakan-akan ramai-ramai menggeruduk KPU. Soalnya, Partai Golkar termasuk yang bisa jadi tak mudah ikut pilkada karena masih terlibat sengketa kepengurusan.
Maka, sulit memahami pembahasan hasil audit BPK itu benar-benar dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Sebab, siasat untuk mengganggu KPU dan menunda pilkada mudah sekali terbaca.