Sunday, November 22, 2015

JPPR: Kampanye Gunakan Duit Sendiri 'Timbulkan Masalah'

Rabu, 18 November 2015 00:39 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil temuan Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR) menemukan fenomena kecilnya laporan sumbangan dana kampanye dari pihak ketiga untuk pasangan calon dalam Pilkada serentak 9 Desember 2015.
Untuk diketahui, setiap kandidat pasangan calon diwajibkan untuk melaporkan sumbangan dana kampanye ke KPU, baik berupa barang maupun uang tunai.
Setiap sumbangan juga dibatasi, baik dari perusahaan maupun perorangan.
Peneliti Manajemen Sistem Internasional (MSI) Ahsanul Minan mengatakan, biaya kampanye dari kantong pasangan calon memunculkan dua kemungkinan.
"Pertama, sebenarnya terima dana dari pihak ketiga, lalu mengklaim duit sendiri. Kedua murni dari diri sendiri. Dua-duanya pun berpotensi menimbulkan masalah," kata Ahsanul di kantor Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (17/11/2015).
Dia menjelaskan, jika mengklaim menggunakan kocek sendiri tapi ternyata menerima bantuan hal itu jelas melanggar ketentuan UU terkait pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel.
"Namanya menggelapkan. Yang satu lagi jadi pertanyaan besar, kenapa, parpol pendukung pasangan calon apakah selama ini hanya menjadi kendaraan paslon hanya saat proses pencalonan."
"Sehingga parpol enggak berkontribusi sama sekali, atau parpol enggak melaporkan kontribusinya," katanya.
Lebih lanjut dirinya mengatakan, dalam Pilkada serentak tahun ini, sebuah terobosan baru diatur dalam UU soal kegiatan kampanye yang dibiayai negara.
"Semua difasilitasi atau disubsidi negara, dengan tujuan menciptakan keadilan berkompetisi."
"Tapi JPPR masih menemukan ada paslon masih saja melakukan kampanye dengan dana sendiri. Iklan media, bilboard, ini harus jadi bahan evaluasi penyelenggara pemilu," katanya.(*)

Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2015/11/18/jppr-kampanye-gunakan-duit-sendiri-timbulkan-masalah

Temuan JPPR, Ada Calon Kepala Daerah Akali Sumbangan Rp 2 Miliar

Selasa, 17 November 2015 | 20:48 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz mangatakan, ada calon kepala daerah di Balikpapan yang diduga mengakali aturan batas dana kampanye dari perusahaan.

Praktek ini dilakukan oleh pasangan H. M Rizal Effendi dan Rahmad Mas'ud.

Hasil temuan JPRR, terdapat jumlah sumbangan dengan total Rp 2 miliar yang berasal dari beberapa perusahaan yang setelah ditelusuri ternyata berasal dari dua perusahaan yang sama.

"Kalau kita lihat Rp 2 Miliar dari mana saja, datang dari enam perusahaan. Ternyata ada dua perusahaan induk yang memayungi enam perusahaan ini," kata Masykurudin di kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Selasa (17/11/2015).

Masykurudin memaparkan, dua perusahaan pertama, yaitu PT Barokah Bersaudara Perkasa dan PT Barokah Gemilang Perkasa, yang masing-masing menyumbang Rp 500 juta sesuai dengan batas maksimal sumbangan dana kampanye dari perusahaan.

Namun, setelah ditelusuri, keduanya berada dalam satu grup, yaitu PT Barokah Perkasa Group.

"Artinya dalam satu grup ini ada sumbangan Rp. 1 miliar yang dipecah ke dua perusahaan yang masing-masing Rp 500 juta," tutur Masykurdin.

Adapun, empat perusahaan lainnya yaitu PT Cindara Pratama Lines, PT Hana lines, PT Mandar ocean dan PT Pers Pely Sinar Pacific.

Jika jumlah dana dari enam anak perusahaan itu dijumlahkan, maka nilai dana kampanye yang diterima pasangan calon Rizal Effendi dan Rahmad Mas'ud melebihi batas sumbangan kampanye yang ditentukan.

Pengamat Pemilu tentang Dana Kampanye, Ahsanul Minan mengatakan, modus memecah jumlah sumbangan dalam pilkada dikhawatirkan akan banyak digunakan oleh kandidat.

"Praktik-praktik pemecahan sumbangan ini sebenarnya penyiasatan administratif terhadap undang-undang. Sebenarnya, sumbangan ini berasal dari satu tangan tapi secara adminiatratif dipecah menjadi beberapa perusahaan," ujar Minan.

Sumber: http://pilkada.kompas.com/read/2015/11/17/20485871/Temuan.JPPR.Ada.Calon.Kepala.Daerah.Akali.Sumbangan.Rp.2.Miliar

Thursday, November 12, 2015

Memantau Dana Kampanye Pemilukada

Uang tidak dapat dipisahkan dari politik, segala aktifitas politik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Demikian juga dalam penyelenggaraan kampanye Pemilukada yang saat ini tengah berlangsung.
Mahalnya biaya kampanye calon kepala daerah tak jarang mendorong mereka untuk menggalang dana ilegal, baik yang berasal dari pengusaha hitam, maupun dari sumber daya negara. Utamanya calon incumbent (petahana), ataupun calon yang berasal dari birokrat. Praktek penggalangan dana ilegal ini akan sangat menciderai integritas dan akuntabilitas proses penyelenggaraan Pemilukada serta berpotensi menjadikan calon terpilih nantinya akan tergadaikan integritasnya kepada para penyumbang gelap.
Oleh karena itu, dibutuhkan kerja pemantauan Pemilukada terutama terkait dengan pendanaan kampanye. Untuk mendukung kerja pemantauan dana kampanye tersebut, MSI bersama JPPR telah menyusun Buku Panduan Pemantauan Dana Kampanye dalam Pemilukada. Silahkan download secara gratis di sini

Wednesday, October 14, 2015

Mengawasi Politisasi Birokrasi dan Penyalahgunaan Sumber Daya Negara dalam Pilkada

Dalam waktu dekat, 269 kabupaten/kota di Indonesia akan menghadapi Pilkada serentak gelombang pertama. Di beberapa daerah tersebut, terdapat calon petahana/incumbent yang ikut bertarung memperebutkan kursi kepala daerah, sebagian juga terdapat calon dari unsur birokrat yang masih memiliki jaringan dan akses ke birokrasi pemerintah.
Salah satu titik rawan dalam situasi tersebut adalah pelanggaran berupa politisasi birokrasi, politisasi anggaran daerah, dan pelanggaran kode etik pegawai.

Temukan penjelasan lebih lanjut dalam slide presentasi berikut ini. Klik link

Thursday, September 10, 2015

KIH Dan KMP Tak Berlaku Di Koalisi Pilkada

Rabu, 9 September 2015 | 17:36
[JAKARTA] Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melakukan pemetaan terhadap pasangan calon (paslon) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 9 Desember mendatang. Aspek yang dilihat dalam pencalonan inin yakni jumlah dukungan partai politik (parpol) terhadap pasangan calon.
Kemudian, perbandingan jumlah dukungan dengan perolehan suara parpol di pemilu legislatif (pileg). Terakhir, peta masing-masing dan antar parpol dalam membangun koalisi.
“Dalam 630 pasangan calon di pilkada, PDIP paling banyak dukungan terhadap paslon yaitu 244 paslon, kemudian Gerindra (211 paslon), Demokrat (205 paslon), Nasdem (199 paslon), PAN (195 paslon), Hanura (187 paslon), PKB (174 paslon), PKS (162 paslon), Golkar (116 paslon), PKPI (90 paslon), PBB (78 paslon), dan PPP (70 paslon),” kata Koordinator Nasional JPPR Masykurudin Hafidz dalam diskusi bertema “Peta Koalisi dalam Pilkada Serentak”, di Jakarta, Rabu (9/9).
Dia menyatakan, pemetaan dilakukan terhadap 630 paslon dari total di seluruh Indonesia dengan mengambil data dari laman Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dia menambahkan, parpol berkonflik mengakibatkan dokumen persyaratan lebih berat dipenuhi. “Akhirnya berpengaruh langsung terhadap jumlah paslon yang didaftarkan. Kenaikan paling signifikan terjadi di Nasdem dan Hanura. Sementara penurunan paling signifikan terjadi di Golkar dan PPP,” imbuhnya.
Sementara terkait komposisi dukungan masing-masing partai, dia mengemukakan, PDIP paling banyak berkoalisi dengan Nasdem (88 paslon), Gerindra dengan PAN (76 paslon), PAN dengan PDIP (77 paslon), Demokrat dengan PDIP (75 paslon).
“Hanura paling banyak berkoalisi dengan PDIP (71 paslon), PKB dengan Nasdem (66 paslon), PKS dengan PAN (65 paslon), Golkar dengan Gerindra (40 paslon), PBB dengan PAN (34 paslon), PPP dengan Golkar (28 paslon) dan PKPI dengan PAN (37 paslon). PAN itu punya peta yang cukup menarik di koalisi antar mereka sendiri,” ucapnya.
Dia mengatakan, tidak terdapat relevansi antara KIH dan KMP di level nasional. “Koalisi lebih bersifat pragmatis dan pertimbangan menang-kalah dibandingkan dengan pertimbangan visi, misi dan program yang sama,” katanya.
Sementara itu, Management Systems International (MSI) Ahsanul Minan mengatakan, koalisi pada pilkada ibarat pelangi. Menurutnya, dalam pilkada nanti masyarakat tidak akan melihat dukungan parpol.
“Mau pilih partai apapun itu sama, tidak berbeda. Ideologi tiap partai tidak tersampaikan ke masyarakat. Ini yang perlu diwasapadai oleh partai,” katanya.
Oleh karena itulah, dia menyarankan agar parpol berpikir jangka panjang dalam menentukan koalisi. “Jangan mengejar faktor elektabilitas saja,” tukasnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan, koalisi parpol memang lebih mengutamakan elektabilitas ketimbang ideologi. [C-6/L-8]

Sumber: http://sp.beritasatu.com/home/kih-dan-kmp-tak-berlaku-di-koalisi-pilkada/95886

Koalisi Pilkada Masih Berlandas Pragmatisme Politik

Kamis,  10 September 2015  −  12:28 WIB

JAKARTA - Koalisi yang dibangun partai politik (parpol) dalam pilkada serentak 2015 masih dilandasi pragmatisme. Hasil kajian Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menunjukkan parpol belum berubah dari paradigma lamanya yang mengusung calon hanya berdasarkan pertimbangan menang-kalah.

”Bersifat pragmatis dan hanya mengejar kemenangan. Hanya elektabilitas calon yang dipikirkan,” ujar Koordinator Nasional JPPR Masykuruddin Hafid saat memaparkan kajian ”Peta Koalisi dalam Pilkada Serentak” di Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, kemarin. JPPR melakukan pemetaan terhadap 630 pasangan calon di seluruh Indonesia.

Dari situ tergambar bahwa koalisi yang dibangun parpol lebih cair dan tidak berdasarkan ideologi, visi, misi, dan program yang sama. Pengamatan terhadap parpol tersebut terlihat PDI Perjuangan paling banyak memberikan dukungan, yakni kepada 244 pasangan calon. Kemudian, Partai Gerindra 211 dan Partai Demokrat 205. Disusul Partai Nasdem 199 dan PAN 195. Berikutnya Partai Hanura 187 pasangan calon, PKB 174, dan PKS 162.

Partai Golkar mendukung 116 pasangan calon, PKPI 90, PBB 78, dan PPP 70. ”Dari temuan kami, PDIP dan PAN paling merata dalam membangun koalisi dengan partai lainnya,” ujarnya. JPPR juga menemukan bahwa PDIP paling banyak berkoalisi dengan Nasdem, yakni 88 pasangan calon. Gerindra paling banyak membangun koalisi dengan PAN, yaitu 76 pasangan calon.

Sementara PAN paling banyak berkoalisi dengan PDIP, yakni 77 pasangan calon. Adapun Demokrat paling banyak berkoalisi dengan PDIP, yakni 75 pasangan calon. Untuk Hanura paling banyak berkoalisi dengan PDIP, yaitu dengan 71 pasangan calon. Sementara PKB paling banyak berkoalisi dengan NasDem dengan 66 pasangan calon, PKS dengan PAN 65 pasangan calon.

”Sedangkan Partai Golkar paling banyak berkoalisi dengan Gerindra, yaitu untuk 40 pasangan calon,” katanya memperincikan. Menanggapi temuan JPPR tersebut, pengamat dari Management Systems International (MSI) Ahsanul Minan menyebutkan koalisi yang terbentuk di pilkada sebagai koalisi pelangi.

Dia melihat kendati parpol memiliki warna ideologi ataupun visi-misi yang berbeda, mereka tetap dapat berkoalisi. ”Koalisi ini hanya bertahan jangka menengah. Jika dilakukan sampai jangka panjang akan merugikan mereka sendiri, karena dapat melunturkan identitas partai,” kata dia.

Ahsanul mengatakan, koalisi yang dibangun seperti dalam pilkada ini akan berdampak pada tidak loyalnya masyarakat pada partai. Pasalnya, ideologi partai sama sekali tidak tersampaikan kepada masyarakat. ”Masyarakat berpikir memilih partai apa pun sama. Bahkan, ada fenomena koalisi gemuk untuk calon petahana tidak bisa dihindari demi meraih kemenangan,” paparnya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilih dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, dengan peta koalisi seperti itu, masyarakat harus semakin aktif meneliti figur yang berkontestasi di pilkada. Masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan kepercayaan pada pilihan partai.

”Karena cair koalisinya tidak bisa hanya menilai dari partai pengusung. Pemilih harus mendalami latar belakang dan rekam jejak calon, penting melihat apa visi-misinya. Masyarakat harus menjadi pemilih yang berdaya,” tuturnya.

Dita angga
(bbg)


Sumber: http://m.koran-sindo.com/read/1042951/149/koalisi-pilkada-masih-berlandas-pragmatisme-politik-1441862820

Tuesday, July 14, 2015

10 Catatan BPK Terkait Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015

Oleh: Ahsanul Minan

BPK telah merampungkan audit yang diminta oleh DPR untuk KPU terkait dengan rencana penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2015. Audit yang dilakukan dalam bentuk Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) ini dimaksudkan untuk memeriksa sejauhmana kesiapan KPU dalam menyelenggarakan Pilkada serentak.
Berbeda dengan temuan yang sebelumnya telah disampaikan BPK terhadap laporan keuangan KPU tahun 2013-2014 yang mengindikasikan beberapa penyimpangan keuangan, dalam laporan PDTT yang disampaikan oleh BPK kepada DPR pada tanggal 13 Juli 2015 ini lebih memfokuskan kepada audit kinerja dengan melihat kesiapan berbagai perangkat utama maupun pendukung yang diperlukan untuk menyelenggarakan Pilkada serentak. 
10 temuan BPK tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penyediaan anggaran pilkada belum sesuai ketentuan;
Kegiatan pilkada serentak belum sepenuhnya dianggarkan pada APBD 2015. Setidaknya ada 25 pemda yang belum menganggarkan biaya pengawasan dan biaya pengamanan. Sebanyak 11 pemda belum menyediakan anggaran penyelenggaraan pilkada melalui APBD. Selain itu, ada pula anggaran yang ditetapkan di dalam naskah perjanjian hibah faerah (NPHD) yang lebih besar dari nilai yang dianggarkan dalam APBD 2015.
"Anggaran itu meliputi delapan KPU kabupaten, satu KPU kota, sepuluh panwaslu kabupaten, dan dua panwaslu kota," ujar Agung.
Dari sembilan provinsi yang akan mengikuti pilkada, delapan di antaranya belum menyusun surat keputusan gubernur secara proporsional sesuai kebutuhan dana pilkada di dalam APBD. Tak hanya itu, pemda juga belum melakukan antisipasi anggaran untuk penghitungan dan pemungutan suara ulang, pemilihan lanjutan, dan pemilihan susulan di 218 KPU provinsi, kabupaten/kota, dan 239 panwaslu kabupaten/kota.
"Penganggaran belanja hibah belum sesuai dengan jadwal tahapan pemilihan sesuai PKPU Nomor 2/2015 pada 131 KPU provinsi dan kabupaten/kota dan 215 panwaslu kabupaten/kota," ujar Agung.

2. NPHD pilkada di beberapa daerah belum ditetapkan dan belum sepenuhnya sesuai ketentuan;
Ada tiga poin terkait NPHD yang masih menjadi catatan. Pertama, pelaksanaan hibah pada pemda belum ditetapkan dalam NPHD antara pihak pemberi dan penerima hibah. Kedua, NPHD belum dilampiri pakta integritas dan belum memuat isi sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Untuk poin kedua, ada 17 KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota, 26 bawaslu provinsi dan kabupaten/kota, serta masing-masing satu kepolisian daerah dan komando distrik militer yang belum melampirkan pakta integritas dalam NPHD. Selanjutnya, 15 KPU tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, 14 Bawaslu provinsi, dan kabupaten/kota, serta masing satu kepolisian daerah belum melampirkan rincian penggunaan hibah dalam NPHD. Dua KPU tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, tiga bawaslu provinsi, dan kabupaten/kota, dan satu kepolisian daerah belum melampirkan pakta integritas dan rincian penggunaan hibah dalam NPHD.
"Ketiga, ada NPHD yang tidak ditandatangani oleh kepala daerah, seperti yang terdapat pada KPU dan Panwaslu Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Pohuwato, dan Kabupaten Poso," ujarnya.
3. Rencana penggunaan anggaran hibah pilkada belum sesuai ketentuan;
Dari 269 KPU daerah, 100 di antaranya telah menganggarkan semua jenis biaya dan 164 lain baru menganggarkan sebagian jenis biaya. Lima KPU sisanya belum menyerahkan data anggaran yang telah dirancang.
Setidaknya, ada 15 jenis biaya yang wajib terdapat di KPU, yaitu honorarium dan uang lembur, barang cetak dan penggandaan, perlengkapan KPPS/TPS, pengangkutan, pelayanan administrasi, dan pembentukan PPK, PPS dan KPPS. "Kemudian, pengamanan percetakan, penyimpanan dan pendistribusian, persiapan pemungutan suara, sosialisasi, advokasi hukum, rapat kerja, pencalonan, verifikasi dan rekapitulasi calon perseorangan, serta proses penghitungan suara," kata Agung.
Sementara itu, dari 269 bawaslu dan panwaslu, 146 di antaranya telah menganggarkan semua jenis biaya, dan 92 lain baru menganggarkan sebagian jenis biaya. Adapun 31 Bawaslu dan Panwaslu sisanya belum menyerahkan data anggaran yang telah dirancang.
"Ada tujuh jenis biaya yang wajib ada di bawaslu, yaitu honorarium dan uang lembur, pengadaan barang dan jasa, pelayanan administrasi perkantoran, raker/pelatihan, penyelesaian kasus, sewa gedung dan perjalanan dinas," ujarnya.

4. Rekening hibah pilkada serentak 2015 pada KPU provinsi/kabupaten/kota dan bawaslu provinsi/panwaslu kabupaten/kota belum sesuai ketentuan;
Setidaknya ada 237 KPU yang sudah memiliki rekening dan sudah ada izin Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Hanya 25 KPU sudah memiliki rekening tapi belum ada izin KPPN.
"Tujuh sisanya tidak menyampaikan dokumen terkait pembukaan rekening penampung," papar Agung.
Sementara itu, baru 80 bawaslu/panwaslu yang sudah memiliki rekening dan sudah ada izin KPPN. Sebanyak 124 bawaslu/panwaslu telah memiliki rekening, tetapi belum ada izin dari KPPN. Adapun 50 bawaslu/panwaslu belum memiliki rekening penampung, enam tidak menyampaikan dokumen terkait pwmbukaan rekening karena sekretariat belum terbentuk, sembilan lainnya tidak menyampaikan dokumen terkait pembukaan rekening penampung.
5. Perhitungan biaya pengamanan pilkada serentak belum dapat diyakini kebenarannya;
Anggaran pengamanan yang diajukan untuk penyelenggaraan 269 pilkada mencapai Rp 1,146 triliun. Dari jumlah tersebut, baru 52 persen atau sekitar Rp 594 miliar yang telah disetujui.
Selain itu, masih ada dua kepolisian daerah yang belum mengantongi persetujuan anggaran, yaitu Polda Banten dan Polda Sulawesi Tengah. Ada pula usulan anggaran pengamanan yang nilai persetujuannya dalam NPHD di bawah 25 persen, seperti Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT dan Papua.
"Terakhir, ada perbedaan data yang diperoleh dari pihak Polri atas nilai anggaran yang telah disetujui dengan data NPHD, seperti di Kota Medan dan Kabupaten Pelalawan," papar Agung.
6. Sebagian besar bendahara panitia pemilihan kecamatan (PPK), pejabat pengadaan/kelompok kerja unit layanan pengadaan (ULP), dan panitia pemeriksa hasil pekerjaan (PPHP) pada sekretariat KPU provinsi/kabupaten/kota, bawaslu provinsi dan panwaslu kabupaten/kota untuk penyelenggaraan pilkada serentak belum bersertifikat dan belum ditetapkan dengan surat keputusan;
Dari sisi kualifikasi bendahara, hanya 55 KPU dan 34 bawaslu/panwaslu yang telah memiliki bendahara sesuai kualifikasi yang ditentukan. Sisanya, 211 KPU dan 195 bawaslu/panwaslu belum memiliki sertifikat dan tidak sesuai ketentuan. Ada 1 KPU dan 37 bawaslu/panwaslu belum ditunjuk melalui SK.
Dari sisi kualifikasi pejabat pembuat komitmen (PPK), ia menjelaskan, hanya 71 KPU dan 7 bawaslu/panwaslu yang sudah sesuai ketentuan. Mayoritas KPU, bawaslu dan panwaslu memiliki PPK yang tidak sesuai ketentuan.
"Ada 178 KPU dan 156 bawaslu/panwaslu tidak sesuai ketentuan. Kemudian, 16 KPU dan 90 bawaslu/panwaslu, PPK-nya belum ditunjuk melalui SK," ujarnya.
Untuk kualifikasi pejabat pengadaan atau pokja ULP, baru 162 KPU dan 29 bawaslu/panwaslu yang sudah seuai ketentuan, 82 KPU dan 57 bawaslu/panwaslu tidak sesuai ketentuan, serta 21 KPU dan 166 bawaslu/panwaslu yang belum ditunjuk melalui SK.

7. Kesiapan pedoman pertanggungjawaban dan pelaporan penggunaan dana hibah belum memadai;
Dari 269 KPU daerah, 203 di antaranya belum memiliki pedoman pertanggungjawaban, sementara 58 di antaranya sudah memiliki dan sisanya BPK belum mengantongi data. Sebanyak 243 KPU daerah belum memiliki pedoman pertanggungjawaban, 18 sudah memiliki, dan delapan tidak ada datanya.
8. Mahkamah Konstitusi belum menetapkan prosedur operasional standar sebagai acuan dalam penyelesaian perselisihan hasil pilkada serentak 2015;
Hingga kini Mahkamah Konstitusi (MK) belum memiliki prosedur operasional standar untuk menyelesaikan sengketa pilkada. Jika dari 269 pilkada serentak terdapat sengketa yang diajukan, misalnya, maka MK hanya memiliki waktu 1 jam 50 menit untuk setiap perkara yang diajukan.
"Itu dengan perhitungan MK kerja 11 jam per hari. Artinya, mereka memiliki waktu 495 jam untuk 45 hari kalender batas waktu penyelesaian sengketa," ujarnya.
BPK telah meminta kepada MK untuk membuat prosedur operasional standar untuk menghadapi sengketa pilkada serentak ini. Terutama, terkait persoalan waktu penyelesaian.
"Mereka kemarin telah mengajukan dana untuk 269 pilkada dan MK sudah menyatakan jika mereka butuh waktu yang lebih banyak," ujarnya.
9. Tahapan persiapan pilkada serentak belum sesuai dengan jadwal dalam Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015;
Dalam hal perencanaan program dan anggaran, 148 daerah sudah sesuai jadwal, 121 daerah terlambat. Dalam hal penyusunan peraturan, 169 daerah sudah sesuai jadwal, 17 daerah terlambat, 51 daerah belum terealisasi, dan 32 daerah tidak ada data.
Dalam hal sosialisasi dan penyuluhan, 158 daerah sudah sesuai jadwal, 70 daerah belum terealisasi, dan 41 daerah tidak ada data. Terkait pembentukan PPK, 205 daerah sesuai jadwal, 39 daerah terlambat, 11 daerah belum terealisasi dan 14 daerah tidak ada data.
"Sedangkan untuk pembentukan PPS, 190 daerah sesuai jadwal, 50 daerah terlambat, 15 daerah belum terealisasi dan 14 daerah tidak ada data," kata Agung.
10. Pembentukan panitia ad hoc tidak sesuai ketentuan;
Dari 269 PPK, panitia pemungutan suara (PPS), panwaslu kabupaten/kota, dan panwaslu kecamatan, baru 205 PPK dan 190 PPS yang proses pembentukannya sesuai jadwal. Adapun 39 PPK, 50 PPS, 258 panwaslu kabupaten/kota dan 187 panwaslu kecamatan terlambat. Sebanyak 11 PPK, 15 PPS, 11 panwaslu kabupaten/kota dan 79 panwaslu kecamatan belum terealisasi. Sisanya, untuk keempat sektor itu BPK belum memperoleh datanya.

Mencermati 10 temuan tersebut di atas, terlihat bahwa persoalan yang muncul tidak hanya dipicu oleh inkomptensi KPU dan Bawaslu saja. Secara umum dapat dibaca bahwa 10 masalah tersebut disebabkan oleh kontribusi 6 pihak yakni KPU, Bawaslu, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kepolisian, MK. Ke enam pihak tersebut sama-sama dan saling memiliki peran dan kontribusi yang menyebabkan munculnya persoalan/kendala yang ditemukan BPK. Sebagai contoh adalah temuan terkait dengan belum adanya pedoman pertanggungjawaban dana hibah, dimana dalam hal ini stakeholder utama yang bertanggungjawab untuk menyediakannya adalah Pemerintah, sehingga posisi KPU dalam hal ini adalah pengguna dan pelaksana pedoman tersebut.
Ketidaksiapan anggaran pengamanan Pilkada serentak juga memperlihatkan bahwa akar persoalannya tidak hanya pada belum tersedianya anggaran di Pemerintah atau Pemerintah Daerah, tetapi juga permasalahan ada di institusi kepolisian yang dinilai perhitungan anggarannya belum dapat diyakini kebenaranya.
Namun demikian, KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu tentunya harus memperhatikan secara cermat temuan BPK ini, karena terdapat beberapa masalah krusial yang harus segera ditangani  secara internal. Di samping upaya untuk mengejar pemenuhan ketersediaan anggaran Pilkada, KPU dan Bawaslu harus memperhatikan persoalan kelembagaan internal seperti belum bersertifikatnya bendahara panitia pemilihan kecamatan (PPK), pejabat pengadaan/kelompok kerja unit layanan pengadaan (ULP), dan panitia pemeriksa hasil pekerjaan (PPHP).
Bagaimanapun juga, temuan di atas tidak perlu menjadi penghambat pelaksanaan Pilkada serentak tahun ini, yang diperlukan adalah kerja sama setidaknya ke 6 stakeholder tersebut untuk segera menemukan sinergi dan penyelesaian masalah.

Monday, July 13, 2015

PDI-P Beri Sanksi Keras bagi Calon Kepala Daerah yang Mundur karena Putusan MK

JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan akan memberikan sanksi keras kepada sejumlah bakal calon kepala daerah yang mengundurkan diri. Sanksi itu diberikan bagi mereka yang mengundurkan diri setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan anggota DPR, DPD, dan DPRD mundur jika ingin maju sebagai calon kepala daerah.

"Kami beri sanksi keras, teguran keras, dan terakhir," kata Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto saat dijumpai di sela-sela Rapimnas II PPP di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (13/7/2015).

Hasto menjelaskan, para bakal calon kepala daerah itu mengundurkan diri karena tidak bersedia mundur sebagai anggota DPRD atau DPR untuk memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah. Padahal, Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri telah memberikan rekomendasi kepada bakal calon tersebut.

"Memang ada beberapa yang mengundurkan diri, sekitar delapan orang. Kami beri sanksi keras karena jabatan publik tidak bisa buat spekulasi. Menjadi anggota DPR bukan untuk batu loncatan," kata Hasto.

Hingga saat ini, kata Hasto, PDI-P telah melakukan proses penjaringan dan memberikan rekomendasi kepada 229 orang untuk menjadi bakal calon kepala daerah. Beberapa daerah yang belum selesai proses penjaringannya rata-rata berada di wilayah Pulau Jawa.

"Kami targetkan Rabu ini telah selesai semua proses. Setelah itu, kita konsolidasi dan pada 21 Juli akan kita lakukan sekolah politik kedua," ujar Hasto.

Wednesday, July 8, 2015

Tindak Lanjuti Putusan MK, KPU Akan Ubah Peraturan Terkait Pengertian Petahana

JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengubah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015 yang memuat pengertian petahana. Revisi PKPU ini dilakukan menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

MK menilai syarat kepala daerah yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 tersebut melanggar konstitusi.

"KPU akan mengubah peraturan KPU yang belum sesuai dengan putusan MK. Jadi, putusan MK merupakan pedoman bagi KPU yang putusannya beda dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015," kata Ketua KPU Husni Kamil Manik di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (8/7/2015).

Mengenai kapan revisi akan dilakukan, Husni mengatakan, KPU menunggu semua putusan MK atas uji materi undang-undang terkait pilkada dibacakan.

"Sepertinya banyak menyangkut PKPU Nomor 9, kalau mau ubah ya sekalian saja. Direncanakan hari ini sampai besok kan pembacaannya," kata Husni.

Selebihnya, Husni enggan mengomentari kemungkinan implikasi putusan MK itu terhadap pencegahan berkembangnya politik dinasti. Ia menegaskan bahwa KPU hanya menjalankan pedoman perundang-undangan.

Dalam PKPU No 9/2015 disebutkan, petahana adalah gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang menjabat. Pengertian tersebut mendorong sejumlah petahana mundur dari posisi kepala/wakil kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir agar keluarganya bisa maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Desember mendatang.

Setidaknya sudah tiga kepala/wakil kepala daerah yang siap mundur dari posisinya agar keluarganya bisa maju di pilkada. Mereka adalah Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad, Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya, dan Wakil Wali Kota Sibolga Marudut Situmorang (Kompas, 18/6/2015).

Langkah mundur ini diambil karena Pasal 1 Angka 6 UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota melarang calon memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Konflik kepentingan berarti memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Pengamat hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, sebelumnya menilai, tafsiran Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap petahana di Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak cukup mencegah politik dinasti. Padahal, tujuan munculnya pasal itu untuk mencegah politik dinasti. Menurut dia, KPU harus memperluas tafsirnya atas petahana supaya tujuan undang-undang mencegah politik dinasti tetap bisa dicapai.

Menkumham: Jika Tak Mau Islah, Partai Akan "Gone With The Wind"

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menegaskan partai politik yang menolak islah terbatas yang ditawarkan pemerintah tak akan bisa mengikuti pelaksanaan pemilihan kepala daerah tahun ini. Maka dari itu, dia berharap ada itikad baik di antara partai politik untuk berislah.
"Gone with the wind. He-he-he," jawab Yasonna saat ditanya soal nasib partai yang tidak mau islah.
Menurut dia, hanya ada dua opsi yang bisa dilakukan partai politik yang berkonflik yakni menunggu hingga keputusan berkekuatan hukum tetap atau islah. Dia menjelaskan, menunggu keputusan hukum berkekuatan tetap memakan waktu sangat lama. Sehingga, yang paling memungkinkan adalah dengan islah. Namun, jika islah juga tidak tercapat, maka Yasonna menyatakan partai tidak bisa mengajukan calonnya.
"Jadi itikad baik pemerintah saya harap direspon secara positif oleh masing-masing kelompok. Kenapa parpol lain kita undang? Supaya ada kesepakatan bersama jangan ada protes dari partai lain," ucap dia.
Saat ini dua partai politik masih terkendala dualisme kepengurusan yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Kedua partai itu terancam tidak bisa mengajukan calon kepala daerah apabila tidak melakukan islah. Lantaran belum adanya titik temu di antara dua partai itu, pemerintah memutuskan mengambil jalan diskresi.
Pemerintah akan melakukam komunikasi tripartit dengan kedua kubu di partai-partai yang berkonflik. Pemerintah menawarkan islah terbatas yang hanya diperuntukkan untuk pengajuan pasangan calon kepala daerah dan tidak terkait dengan kepengurusan.

Sunday, June 28, 2015

Inikah Siasat Mengganggu Pilkada?

Oleh: Anita Yossihara dan A Ponco Anggoro

JAKARTA, KOMPAS - Beberapa anggota Komisi II DPR langsung menginterupsi begitu Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik menunjukkan surat undangan yang diterima dari Sekretariat Jenderal DPR dalam rapat dengar pendapat Komisi II dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilu, Senin (22/6/2015) pagi. Menurut Husni, undangan itu membahas agenda tunggal, yakni evaluasi pelaksanaan Peraturan KPU atau PKPU.
Pernyataan Husni memang mengejutkan, termasuk tamu dan wartawan yang hadir memenuhi ruang balkon Komisi II. Sebab, sejak akhir pekan lalu tersebar informasi bahwa pada Senin Komisi II akan menggelar rapat meminta penjelasan KPU mengenai laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pelaksanaan anggaran pemilu tahun 2013-2014.
Pada awal rapat, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman sudah mengungkapkan agenda rapat adalah meminta penjelasan KPU terkait LHP BPK atas anggaran pemilu tahun 2013- 2014. Dalam LHP BPK itu diketahui, terdapat indikasi ketidakpatuhan terhadap UU dalam pengelolaan anggaran sebesar Rp 334 miliar. Dari total temuan itu, didapat indikasi kerugian negara Rp 13,7 miliar.
Politikus Partai Golkar itu pun menegaskan, tidak ada motif apa pun di balik permintaan penjelasan. "Tidak ada unsur dendam, tidak ada unsur apa- apa. Kami juga bukan ingin melemahkan KPU," katanya.
Pernyataan Husni soal undangan formal yang diterima menimbulkan perdebatan di antara anggota Komisi II. Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Nasdem, Lutfi A Mutty, mengatakan, dirinya juga menerima undangan dari Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR bahwa agenda rapat dengan KPU dan Bawaslu adalah membahas pelaksanaan PKPU dan Peraturan Bawaslu.
Setelah lebih dari setengah jam berdebat, Komisi II dan KPU akhirnya bersepakat, rapat digelar untuk mendengarkan penjelasan KPU soal tindak lanjut temuan BPK.
Menekan KPU
Meski akhirnya KPU menjelaskan tindak lanjut LHP BPK, pembahasan LHP BPK di Komisi II tetap menimbulkan pertanyaan. Salinan LHP BPK atas pelaksanaan anggaran Pemilu 2013-2014 sudah beredar di kalangan wartawan pada 11 Juni lalu. Pemberitaan tentang hasil audit anggaran pemilu mulai ramai dibahas di berbagai media massa sejak pertengahan pekan lalu. Berita di sejumlah media disebut-sebut oleh Rambe sebagai pertimbangan Komisi II menggelar rapat membahas temuan BPK.
Padahal, LHP BPK soal anggaran Pemilu 2013-2014 sudah diserahkan ke KPU pada Januari lalu. Bahkan, menurut Ketua KPU Husni Kamil Manik, KPU sudah menindaklanjuti 75 persen rekomendasi BPK.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, Rufinus Hutauruk, menyatakan kecurigaannya ada agenda tersembunyi dari partai-partai tertentu untuk mengaitkan hasil audit BPK dengan penyelenggaraan pilkada. "Saya khawatir ada partai yang tidak siap (mengikuti pilkada), tetapi dibuat-buat seakan-akan KPU yang tak siap," katanya.
Arif Wibowo dari F-PDIP bahkan sejak awal curiga ada unsur politis dari pengungkapan hasil LHP BPK. Buktinya pimpinan DPR sempat menyatakan, pilkada bisa saja ditunda jika KPU tak bisa mempertanggungjawabkan hasil audit BPK.
Kalangan aktivis pemilu juga mempunyai kecurigaan yang sama. Mereka curiga DPR berupaya meyakinkan publik bahwa KPU tidak kredibel menyelenggarakan pilkada. Pilihannya hanya dua, anggota KPU diganti atau pilkada ditunda.
"Hasil pemeriksaan BPK coba ditarik ke ranah politik, dipoliti- sasi sehingga sasarannya pilkada ditunda. Selain itu, merupakan upaya menjatuhkan kredibilitas KPU sehingga publik tidak percaya kinerja dan integritas KPU," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Selain Titi, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman pun ikut angkat bicara atas permasalahan itu. Dia bahkan menyebut ada upaya melemahkan KPU dengan mengait-kaitkan hasil pemeriksaan BPK dan pilkada (Kompas, 22/6).
Pandangan itu muncul karena hasil pemeriksaan BPK memiliki mekanisme tindak lanjutnya sendiri. Mekanisme itu sama sekali tidak terkait pilkada.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK disebutkan, instansi diberi kesempatan untuk memperbaiki temuan BPK.
Sementara dalam undang-undang pilkada, penundaan pilkada hanya bisa dilakukan jika terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian tahapan pemilihan tidak bisa dilaksanakan. Ini artinya tidak ada kaitannya penundaan dengan temuan BPK.
"Kami sepakat rekomendasi BPK ditindaklanjuti. Namun, harus sesuai prosedurnya, tidak ditarik-tarik ke ranah politik, terlebih sampai ada tuntutan menunda pilkada atau mengganti anggota KPU," ujar Titi.
Kecurigaan ada agenda tersembunyi di balik pembahasan temuan BPK itu semakin kuat karena ternyata temuan yang diungkap bukan hanya temuan pengelolaan anggaran di KPU pusat, melainkan juga KPU daerah. Bahkan, mayoritas di antara temuan terjadi di KPU daerah. Selain itu, tak semua temuan di KPU daerah tersebut merupakan KPU yang akan menyelenggarakan pilkada tahun ini.

DPR yang hanya mengutak- atik hasil pemeriksaan BPK atas KPU juga janggal. Pasalnya, tidak sedikit instansi pemerintah yang nilai temuannya melebihi nilai temuan BPK atas KPU. Tidak sedikit pula instansi pemerintah yang mendapat opini tak menyatakan pendapat dari BPK atau lebih buruk daripada opini BPK atas KPU, yaitu wajar dengan pengecualian.
Kecurigaan sejumlah kalangan tentang adanya kepentingan tersembunyi itu pun akhirnya terjawab. Menjelang rapat berakhir, John Kennedy Aziz dari F-PG mengusulkan penundaan pilkada karena khawatir KPU tak bisa menyelenggarakan pilkada yang jujur, adil, transparan, dan akuntabel.
"Kalau melihat hasil audit BPK ini, saya terus terang khawatir KPU bisa menjalankan pilkada yang luber, jurdil, transparan, dan akuntabel. Untuk itu secara pribadi, saya mohon pimpinan agar pilkada yang sedia- nya dilaksanakan Desember dikaji ulang," tuturnya.
John Kennedy sebenarnya terdaftar sebagai anggota Komisi III dan baru diperbantukan ke Komisi II saat rapat membahas LHP BPK dengan KPU. Selain John dan Misbakhun, F-PG juga memperbantukan anggota Komisi X Kahar Muzakir ke Komisi II, khusus untuk mengikuti rapat soal audit BPK. Seakan-akan ramai-ramai menggeruduk KPU. Soalnya, Partai Golkar termasuk yang bisa jadi tak mudah ikut pilkada karena masih terlibat sengketa kepengurusan.
Maka, sulit memahami pembahasan hasil audit BPK itu benar-benar dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Sebab, siasat untuk mengganggu KPU dan menunda pilkada mudah sekali terbaca.




Monday, June 22, 2015

Pilkada di Jateng: Baru 2 Daerah Cairkan Dana Pengawasan

Minggu, 21 Juni 2015 21:50 WIB | Insetyonoto/JIBI/Solopos

Solopos.com, SEMARANG-Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Jawa Tengah mengungkapkan sampai sekarang baru dua daerah yang telah mencairkan anggaran dana pengawasan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2015.
Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Jawa Tengah (Jateng), Teguh Purnomo menyatakan masih banyak daerah yang belum mencairkan dana pengawasan pilkada.
“Dari 21 kabupaten/kota yang akan menggelar pilkada serentak 2015 sampai sekarang baru Kota Pekalongan dan Kebupaten Semarang yang telah mencairkan dana pengawasan,” katanya kepada solopos.com di Semarang, Minggu (21/6/2015).
Untuk 18 daerah lainnya, lanjut dia masih dalam proses pencairan dana karena sudah dilakukan penandatanganan nota perjanjian hibah daerah (NPHD) antara pemerintah kabupaten/kota dengan panitia pengawas (panwas) setempat.
Sedang Kabupaten Purbalingga masih belum dilakukan penandatanganan NPHD karena belum ada kesepatan antara bupati dengan panwas. Akibat belum dicairkannya anggaran dana pengawasan, sambung Teguh, panwas kabupaten/kota terpaksa harus berutang sampai puluhan juta rupiah untuk mendukung kegiatan.
Pascadilantik pada Mei 2015 lalu, panwas kabupaten/kota sudah melakukan berbagai kegiatan, antara lain membentuk dan melantik kepengurusan penitia pengawas kecamatan (panwascam).
“Utang panwas kabupaten/kota antara Rp10 juta-25 juta karena pascadilantik Mei lalu sampai sekarang anggaran dana pengawasan belum cair,” ungkap Teguh.
Terpisah anggota Panwas Kota Semarang, Bekti Maharani menyatakan untuk membiayai kegiatan selama Mei-Juni terpaksa menggunakan dana pribadi.
“Kalau ditotal pengeluaran anggota panwas sudah mencapai puluhan juta,” kata dia.
Menurut dia, sebenarnya panwas sudah sudah melakukan penandatanganan NPHD dengan Wali Kota Semarang beberapa waktu lalu, tapi sampai saat ini belum cair.
“Berharap akhir bulan Juni atau awal Juli dana pengawasan sudah bisa cair,” harap anggota panwas dari unsur jurnalis ini.
Sementara itu, Sekretaris Komisi A DPRD Jateng, Ali Mansyur mendesak Pemprov Jateng turun tangan menyikapi belum cairnya anggaran dana untuk panwas.
”Pemprov harus segera menyelesaikan persoalan dana ini untuk menjaga kualitas pilkada karena peran panwas sangat penting,” ucap dia.
Peran panwas, imbuh politisi dari Partai Nasdem ini sangat penting agar pelaksanaan pilkada serentak di 21 kabupaten/kota berjalan adil, jujur dan berkualitas.
“Jadi masalah anggaran dana untuk panwas harus segera diselesaikan. Pemprov perlu memberikan sanksi kepada kabupaten/kota yang menghambat pencairan dana pengawasan,” tandas dia.

23 Juni, Penyerahan DP4 Pilkada ke KPU Daerah dan Pengawasannya



Oleh: Ahsanul Minan


Persiapan penyelenggaraan Pilkada terus dikebut. Meskipun diwarnai oleh tekanan politik dari DPR untuk penundaan Pilkada maupun ancaman penggantian komisioner KPU, hingga ancaman untuk menyeret KPU ke KPK, hal tersebut tidak menyurutkan langkah perhelatan Pilkada tersebut.
Hari ini, 23 Juni 2015, berdasarkan jadwal tahapan Pilkada 2015 merupakan batas akhir pengiriman hasil analisis dan sinkronisasi DP4 oleh KPU kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang akan menggelar Pilkada. Momentum ini sekaligus menandai dimulainya proses penyusunan Daftar Pemilih Pilkada oleh KPU Kabupaten/Kota sebelum diserahkan kepada PPS untuk dimutakhirkan. Kedua fase ini sangat penting untuk diperhatikan baik oleh KPU/KPU Kabupaten/Kota, Pengawas Pemilu, maupun khalayak umum, karena pada kedua fase ini dilakukan verifikasi secara paper-based terhadap Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4) yang disusun oleh Pemerintah. Seberapa akurat analisis dan sinkronisasi DP4 ini oleh KPU maupun penyusunan daftar pemilih oleh KPU Kab/Kota akan mempengaruhi beban kerja PPS dalam melakukan pemutakhiran daftar pemilih yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 Juli-26 Agustus nanti. Semakin rendah akurasinya maka akan semakin memberatkan kinerja PPS dalam pemutakhiran daftar pemilih.  
Sebagaimana disampaikan oleh Yuswandi, jumlah pemilih potensial yang terdaftar dalam DP4 mencapai 102.068 juta orang. Jumlah tersebut merupakan total dari jumlah daftar pemilih potensial yang akan mengikuti pemilihan 269 Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah kali ini. Tentunya bukan jumlah yang sedikit untuk diverifikasi dan dimutakhiran.
Bagi Pengawas Pemilu, terdapat beberapa isu yang perlu diperhatikan dalam proses pengawasan terhadap proses penyusunan daftar pemilih ini. Pertama; akurasi dan validitas data penduduk sesuai syarat administrative yang disebut dalam undang-undang, hal ini penting mengingat pengalaman Pemilu 2014 menunjukkan tingginya angka ketidakakuratan data penduduk terutama menyangkut NIK. Kedua: syarat surat keterangan domisili dari kepala desa (Pasal 57 ayat (2)) yang membuka peluang terjadinya mobilisasi penduduk dari daerah lain untuk menjadi pemilih. Kerawanan ini lebih berpeluang terjadi di desa dimana kepala desanya berafiliasi kepada partai politik atau calon tertentu, serta di desa yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota lainnya. Untuk memastikannya, Pengawas Pemilu harus secara pro-aktif mengawasi proses penyusunan daftar Pemilih oleh KPU Kab/Kota yang akan berlangsung pada tanggal 24 Juni-14 Juli, dan proses pemutakhiran oleh PPS. Daftar pemilih dalam Pileg dan Pilpres 2014 maupun data hasil pengawasan dalam pileg dan pilpres 2014 perlu dijadikan acuan dalam pengawasannya. Pengawasan terhadap gerak-gerik Kepala Desa juga perlu dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan manipulasi persyaratan pemilih.
Di sisi lain, KPU Kab/Kota beserta jajarannya perlu memaksimalkan proses pendaftaran Pemilih dengan memastikan seluruh warga negara yang memenuhi syarat telah terdaftar sebagai pemilih, dan mengupayakan semaksimal mungkin agar DPK tidak membengkak.  Hal ini penting untuk dicamkan karena besarnya angka DPK merupakan indicator kegagalan proses pendaftaran pemilih.

Friday, June 19, 2015

Quo Vadis Hasil Audit BPK terhadap KPU

Oleh: Ahsanul Minan

Barawal dari kekecewaan beberapa partai politik yang tidak berhasil mengegolkan niat untuk merevisi UU Pemilu nomor 8 Tahun 2015, muncul permintaan dari Komisi II DPR RI kepada BPK untuk melakukan audit terhadap keuangan KPU. Meskipun dibantah oleh Ketua Komisi II, tidak dapat ditutupi bahwa niat partai politik ini lebih kental diwarnai oleh kegelisahan mereka terhadap konflik internal berlarut yang dapat berdampak pada eligibilitas mereka dalam mengikuti kontestasi dalam pemilukada tahun 2015 mendatang. Tak heran jika munculnya keputusan ini di DPR tidaklah mulus, fraksi PKB menganggap ini sebagai pemaksaan. Pemerintah dan KPU segendang seirama menolak usulan revisi UU Pemilu ini dengan kekhawatiran akan mengganggu jadwal penyelenggaraan pemilukada serentak tahun 2015.
Ketua BPK, Harry Azhar Aziz yang sebelumnya merupakan politisi dan anggota DPR dari Golkar pun bergerak cepat merespon permintaan koleganya di DPR, meskipun sempat menjadi perdebatan mengenai apa obyek audit yang harus diteliti oleh BPK. Sejak tidak terdapat kejelasan apa yang hendak diaudit, apakah rencana anggaran pilkada tahun 2015, ataukah realisasi anggaran tahun-tahun sebelumnya, ataukah kesiapan KPU dalam menyelenggarakan Pilkada di luar persoalan anggaran seperti peraturan teknis, dan lain-lain, ataukah audit menyeluruh? Hal ini menunjukkan anomali, bagaimana mungkin BPK akan mengaudit peraturan KPU ? Apakah BPK memiliki kompetensi keilmuan tentang Pemilu sehingga dapat mengaudit Peraturan KPU? Atau jika audit dimaksudkan untuk menginvestigasi laporan keuangan KPU tahun-tahun sebelumnya, apakah hal itu bukan merupakan pengulangan atas audit sebelumnya karena BPK melakukan audit secara rutin kepada KPU. Bahkan jika anggara Pilkada tahun 2015 dianggap membengkak, bukankan itu karena adanya perubahan peraturan tentang 4 jenis kampanye yang dibiayai negara melalui KPU? Hal inilah yang rupanya membuat KPU tak habis pikir dengan rencana untuk mengaudit KPU.
Namun pada tanggal 18 Juni 2015 BPK menyatakan telah merampungkan auditnya dan melaporkannya ke DPR. Tak seperti perdebatan sebelumnya, hasil audit BPK menunjukkan bahwa audit hanya dilakukan terhadap laporan keuangan KPU sejak tahun 2012 hingga 2014, dan tidak menyentuh pada audit kesiapan penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2015. 
Secara umum, BPK mengindikasikan penyimpangan uang negara tersebut dibagi dalam tujuh kategori;
  1. Indikasi kerugian negara Rp 34.349.212.517,69
  2. Potensi kerugian negara Rp 2.251.876.257.00
  3. Kekurangan penerimaan Rp 7.354.932.367.89
  4. Pemborosan Rp 9.772.195.440.11
  5. Yang tidak diyakini kewajarannya Rp 93.058.747.083.40
  6. Lebih pungut pajak Rp 1.356.334.734
  7. Temuan administrasi Rp 185.984.604.211.62
Temuan BPK ini langsung dimanfaatkan untuk menebar ancaman, Komisioner KPU diganti, atau Pilkada serentak tahun 2015 ditunda. Ancaman ini tentunya tidak masuk akal, karena hasil audit sama sekali tidak memiliki relevansi dengan persiapan dan kesiapan penyelenggaraan pilkada. Hasil audit ini sama sekali tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai kesiapan KPU dalam menyelenggaraan Pilkada serentak 9 Desember 2015. Akan sangat berbeda jika hasil audit menunjukkan bahwa peraturan teknis penyelenggaraan pilkada belum terbentuk, atau belum lengkap, sehingga wajar jika Pilkada diminta untuk diundur. Menanggapi hasil audit ini, KPU menyampaikan sikap yang cukup bijak dengan menegaskan komitmen untuk menindaklanjutinya.  
Meskipun hasil audit tidak memiliki korelasi dengan penyelenggaraan pilkada, namun tentunya ancaman Senayan tersebut tetap perlu diwaspadai oleh KPU dan masyarakat sipil, di tengah demam kriminalisasi di negeri ini.

Wednesday, June 17, 2015

Total DP4 Pilkada 2015 Sebanyak 102.068.130


Jakarta, kpu-sulutprov.go.id - Jumlah Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilihan (DP4) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2015 yang diserahkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI, Yuswandi A. Temenggung kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Husni Kamil Manik berjumlah 102.068.130 jiwa, Rabu (03/6).

“Jumlah data berdasarkan catatan yang diberikan kepada kami, jumlah DP4 nya adalah 102.068.130 jiwa,” tutur Husni saat beri sambutan pada Serah Terima DP4 antara Kemendagri kepada KPU di Gedung Sasana Bhakti Praja, Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara No. 7 Jakarta.

DP4 itu akan digunakan KPU untuk menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada 224 kabupaten yang akan melaksanakan pemilihan bupati dan wakil bupati (pilbup), 36 Kota yang akan melaksanakan pemilihan walikota dan wakil walikota (pilwakot), dan 48 kabupaten/kota yang tidak melaksanakan pilbup dan pilwakot tetapi mengikuti pemilihan gubernur dan wakil gubernur di 9 provinsi. Total DP4 itu akan digunakan untuk menyusun DPT di 308 kabupaten/kota yang menggelar pemilihan.

Setelah diterima, KPU akan melakukan sinkronisasi DP4 Pilkada 2015 dengan DPT Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Kemudian akan diteruskan ke KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota hingga ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) di masing-masing daerah.

Selanjutnya PPS bersama Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) akan melakukan proses pemutakhiran data pemilih, penambahan dan pengurangan jumlah sesuai dengan kondisi nyata lapangan. “Setelah kami terima DP4, kami akan mengolah dan mengelolanya, bagi yang sudah akurat tidak akan dikurangi, tapi kalau yang belum akurat akan ditindaklanjuti agar akurat,” kata Husni.

“Misal petugas kami didaerah menemukan orang yang bersangkutan tidak lagi tercatat sesuai domisilinya maka akan dikonfirmasi. Apakah dia pindah permanen atau tidak permanen. Kalau permanen dikeluarkan dari data, tapi kalau tidak permanen dan yang bersangkutan ada di domisilinya pada hari pemungutan suara, maka tidak dikeluarkan dari daftar pemilih,” lanjutnya.

Hasil pemutakhiran itu akan diproses lebih lanjut menjadi Daftar Pemilih Sementara (DPS). Selanjutnya KPU akan mengumumkannya untuk menghimpun respon masyarakat. jika telah akurat dan diterima oleh public DPS itu akan disusun menjadi DPT Pilkada serentak Tahun 2015.

Sekjen Kemendagri, Yuswandi A. Temenggung yang membacakan sambutan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo, berharap fasilitasi pemerintah dan KPU dapat dimanfaatkan secara penuh oleh pemilih.

“Dalam kesempatan ini kita (pemerintah) sangat berharap semua penduduk yang berhak memilih dapat menggunakan hak pilihnya,” kata Yuswandi.

Ia mengimbau kepada penyelenggara pemilihan agar dapat menggelar pemilihan sesuai asas langsung, umum, bebas dan rahasia, sehingga dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas, dan dapat diterima oleh masyarakat luas.

“Kepada penyelenggara, semoga dapat melaksanakan Pilkada serentak Tahun 2015 ini secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kita berharap forum ini (pemilihan umum) dapat menghasilkan kepala daerah yang betul-betul berkualitas, berkompetensi, integritas dan punya kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitasnya,” imbuh Yuswandi.
 

Dukungan Kurang, Pasangan Jalur Perseorangan Ini Gagal Maju di Pilkada Tanjabtim

Kamis, 18 Juni 2015 - 03:39:35 WIB

JAMBIUPDATE.COM, MUARASABAK - Berkas yang diserahkan sebanyak 34 ribu berkas berupa fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, yang diserahkan pasangan jalur perseorangan Krismanto-Santi Wirda beberapa waktu yang lalu. Ternyata sebagian besar tidak disertai surat dukungan yang dibubuhkan tanda tangan atau cap jempol. Akibatnya, pasangan jalur perseorangan ini gagal maju dalam Pilkada Tanjabtim yang dihelat akhir tahun ini. Ketua KPU Tanjabtim, Mustakim mengatakan,
"Dari fotokopi KTP yang diserahkan sebanyak 34 ribu lebih fotokopi KTP, yang memberikan dukungan disertai tanda tangan dan cap jempol hanya 2.374 dukungan," ujarnya.
Untuk penambahan bukti dukungan berupa tanda tangan maupun cap jempol tidak dapat dilakukan. Karena batas akhir penyerahan formulir perseorangan telah lewat.
"Kalau diserahkan (11/6) lalu mungkin masih bisa, tapi sekarang kan batas waktu habis," bebernya.
Padahal untuk fotokopi KTP pasangan jalur perseorangan ini telah mumpuni. Hanya saja fotokopi KTP tersebut tidak semuanya disertai dengan surat dukungan baik kolektif maupun perorangan.
"Kemudian photocopy KTP ini termasuk kategori berkas hard copy, sementara soft copy juga hanya sebagian kecil saja yang terentri," tukasnya.
Krismanto melalui akun Faceboknya, Krismanto mengucapkan terima kasih kepada Tanjabtim, yang telah memberikan dukungan kepadanya. Dimana pihaknya telah berhasil, mengumpulkan sekitar 40 ribu fotokopi KTP. Namun dari waktu yang diberikan sekitar 17 jam, menjelang habisnya masa pendaftaran untuk jalur perseorangan. Dari 40 ribu hard copy KTP itu, pihaknya hanya mampu mengentri sekitar 10 ribu soft copy KTP. Dalam akun Facebook tersebut, dia juga meminta agar para pendukungnya, tidak berkecil hati, dan selalu memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar diberikan petunjuk dan jalan keluarnya.(yos)

CARA PENGAWASAN PENDAFTARAN PEMILIH: MEWUJUDKAN DATA PEMILIH PEMILU YANG KREDIBEL

Ahsanul Minan
Makalah disampaikan dalam acara Focus Group Discussion tentang Penyusunan Daftar Pemilih, Bawaslu Provinsi DKI Jakarta dan Kesbangpol Pemprov DKI Jakarta, Jum'at, 20 Desember 2013
A. PENDAHULUAN
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan instrumen demokratis yang secara reguler diselenggarakan untuk mewujudkan keterlibatan rakyat dalam menyalurkan kedaulatannya dalam proses penentuan kepimpinanan politik. Hal ini telah secara tegas diatur dalam konstitusi serta dijabarkan secara teknis dalam undang-undang pemilihan umum. Pelibatan rakyat selaku pemegang kedaulatan atas negara diimplementasikan berdasarkan atas prinsip langsung yang berarti proses pemberian suara tidak dapat diwakilkan, umum yang berarti hak rakyat untuk dapat mengikuti pemilu bersifat menyeluruh tanpa adanya diskriminasi, serta adil yang berarti tidak ada perlakuan yang istimewa atau berbeda antara warga negara satu dengan yang lainnya.
Dalam rentang sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejak Pemilu pertama tahun 1955 hingga saat ini, problematika dalam penyusunan daftar pemilih baru mencuat dan menjadi perdebatan hangat sejak dilaksanakannya Pemilu tahun 2009. Sebelum Pemilu 2009, isu penyusunan daftar pemilih tenggelam di antara berbagai isu kepemiluan antara lain kampanye, manipulasi suara, dan penetapan hasil pemilu. Meskipun demikian, bukan berarti pada rentang waktu tersebut tidak sama sekali ada permasalahan terkait dengan daftar pemilih. Demikian juga pada Pemilu 2009, isu penyusunan daftar pemilih juga baru mencuat pada saat telah ditetapkannya Daftar Pemilih Tetap oleh KPU. Hal ini tidak terlepas dari minimnya perhatian masyarakat, peserta pemilu, dan pemantau terhadap persoalan daftar pemilih ini.
Pada Pemilu 2014 ini, perhatian terhadap tahapan penyusunan daftar pemilih ini semakin menguat, dimana indikasinya dapat dilihat melalui tingginya media coverage (liputan pemberitaan di media massa), banyaknya statement di media yang disampaikan oleh kalangan pemantau pemilu dan pengamat, munculnya banyak tanggapan dari peserta pemilu, serta munculnya banyak rekomendasi dari pengawas pemilu.

B. ARAH KEBIJAKAN PENGAWASAN DAFTAR PEMILIH OLEH BAWASLU
1. Isu Strategis
Daftar Pemilih yang kredibel menjadi salah satu kunci kesuksesan penyelenggaraan pemilu yang demokratis, karena akan memberikan pengaruh kepada terpenuhinya hak warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih, serta mempengaruhi tingkat kepercayaan peserta pemilu dan legitimasi atas hasil pemilu itu sendiri.
Secara internasional, terdapat beberapa prinsip yang diakui dalam penyusunan daftar pemilih yang kredibel yakni integrity, legality, accessibility, comprehensiveness, inclusiveness, fairness, accuracy, transparency, cost-effectiveness, timeliness, credibility, and sustainability.
Dalam kerangka hukum positif di indonesia, penyusunan daftar pemilih harus mengacu kepada prinsip-prinsip yang meliputi; prinsip wholistik, prinsip akurasi, prinsip ketetapatan waktu, prinsip efektifitas, prinsip efisiensi, prinsip transparansi, dan professionalisme.
2. Model-model Penyusunan Daftar Pemilih
Dalam diskursus sistem kepemiluan di dunia internasional, dikenal beberapa model pendekatan yang dipergunakan dalam penyusunan daftar pemilih:
Citizen Registration versus Voter Registration.
Compulsory Registration versus Voluntary Registration
Active Registration versus Passive Registration
Periodic Registration versus Continuous Registration