Wednesday, July 8, 2015

Tindak Lanjuti Putusan MK, KPU Akan Ubah Peraturan Terkait Pengertian Petahana

JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengubah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015 yang memuat pengertian petahana. Revisi PKPU ini dilakukan menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

MK menilai syarat kepala daerah yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 tersebut melanggar konstitusi.

"KPU akan mengubah peraturan KPU yang belum sesuai dengan putusan MK. Jadi, putusan MK merupakan pedoman bagi KPU yang putusannya beda dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015," kata Ketua KPU Husni Kamil Manik di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (8/7/2015).

Mengenai kapan revisi akan dilakukan, Husni mengatakan, KPU menunggu semua putusan MK atas uji materi undang-undang terkait pilkada dibacakan.

"Sepertinya banyak menyangkut PKPU Nomor 9, kalau mau ubah ya sekalian saja. Direncanakan hari ini sampai besok kan pembacaannya," kata Husni.

Selebihnya, Husni enggan mengomentari kemungkinan implikasi putusan MK itu terhadap pencegahan berkembangnya politik dinasti. Ia menegaskan bahwa KPU hanya menjalankan pedoman perundang-undangan.

Dalam PKPU No 9/2015 disebutkan, petahana adalah gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang menjabat. Pengertian tersebut mendorong sejumlah petahana mundur dari posisi kepala/wakil kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir agar keluarganya bisa maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Desember mendatang.

Setidaknya sudah tiga kepala/wakil kepala daerah yang siap mundur dari posisinya agar keluarganya bisa maju di pilkada. Mereka adalah Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad, Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya, dan Wakil Wali Kota Sibolga Marudut Situmorang (Kompas, 18/6/2015).

Langkah mundur ini diambil karena Pasal 1 Angka 6 UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota melarang calon memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Konflik kepentingan berarti memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Pengamat hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, sebelumnya menilai, tafsiran Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap petahana di Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak cukup mencegah politik dinasti. Padahal, tujuan munculnya pasal itu untuk mencegah politik dinasti. Menurut dia, KPU harus memperluas tafsirnya atas petahana supaya tujuan undang-undang mencegah politik dinasti tetap bisa dicapai.

No comments:

Post a Comment